hei, I'm back ^^ *dilempar sepatu anak sebelah
so, disini aku iseng-iseng aja pengen ngeposin soal karyaku saat tugas b.indonesia kemaren .. ini adalah salah satu cerpenku lhoo .. ^^
Well, gag usah panjang lebar .. hope you like it ..
*jengjengjeng
HERE WE GO !!!
Sahabat
Diluar sedang gerimis. Aku duduk termenung di dekat jendela kamar sambil menikmati teh hangat yang baru saja kubuat. Bunyi air hujan terdengar gemericik dan aku menikmatinya. Bunyi itu terdengar seperti alunan nada yang sangat alami. Tanpa dikotori oleh bunyi-bunyi kendaraan bermotor. Suasana seperti itu terlihat sangat tenang.
Aku memandang keluar, halaman di samping rumahku basah. Namun tak mengapa. Aku menyukai gerimis. Entah kenapa. Rasanya seperti tenang kalau badan kita diguyur air yang jatuh dari langit. Selain itu, dibalik semua gerimis itu, banyak sekali tersimpan cerita. Cerita yang mungkin takkan bisa terulang lagi. Cerita-cerita indah yang hanya bisa untuk dikenang.
Aku lebih senang gerimis daripada hujan. Gerimis terlihat lebih tenang dan damai daripada hujan deras dan badai. Aku iseng-iseng membuka album foto dilemariku, disitu tersimpan foto-foto masa kecilku. Terutama saat aku Sekolah Dasar. Diantara beberapa temanku di dalam foto itu, ada satu orang yang sangat aku rindukan sekarang. Ila, sahabat lamaku. Sayangnya sekarang dia sudah tidak ada disini. Setelah lulus dari Sekolah Dasar, orang tua Ila mengajak Ila untuk pindah ke Jakarta. Padahal, banyak cerita manis yang aku lakukan bersamanya. Walau hanya sebatas cerita anak SD, namun itu berkesan bagiku yang sekarang sudah menginjak SMA. Sudah beberapa tahun aku tidak bertemu dengannya. Hubungan kami hanya sebatas via telepon. Namun itu dulu, sekarang sudah tidak lagi.
Aku mengalihkan pandanganku dari album foto itu ke jendela luar. Memerhatikan bunyi rintik hujan itu. Aku serasa kembali ke masa SD dulu.
*********
Jam 12.00, waktu itu gerimis. Teman-temanku sibuk dijemput oleh orang tuanya masing-masing untuk pulang ke rumah. Tak terasa, setelah beberapa lama, hanya aku dan Ila saja murid yang masih ada di sekolah itu, belum pulang ke rumah.
“Il, kami tidak pulang ?”, tanyaku dengan nada polos anak SD.
“Aku tidak dijemput, orang tuaku sibuk di toko. Mungkin aku menunggu sampai reda dan baru bisa pulang. Kamu sendiri kok belum pulang, din?”.
Pertanyaan Ila tidak kujawab. Aku sebenarnya membawa payung dalam tas biruku ini. Ibuku dari rumah selalu mengingatkanku untuk membawa payung di musim hujan seperti ini. Aku bisa saja pulang dari tadi. Tapi aku tidak suka pulang sendiri, aku lebih suka pulang bersama teman-teman.
“Aku bawa payung, kamu mau bareng aku? Daripada menunggu disini lama, nanti sampai sore”, kataku kepada Ila.
Ila agak sedikit bimbang. Namun ia tersenyum dan mengangguk.
Aku membuka tasku dan mengambil payungku. Sebenarnya payung ini kecil dan muat hanya satu orang, namun tidak apa-apa. Hari itu adalah hari selasa, jadi besok seragamnya tidak dipakai lagi. Aku dan Ila berjalan beriringan sambil bercanda. Kebetulan jarak sekolah dengan rumah hanya sekitar 500 meter hanya, jadi hanya jalan kaki pun tidak apa-apa.
Sepanjang perjalanan, seragam kami pun basah kuyup. Oleh karenanya, aku menutup payungku dan memilih hujan-hujan saja. Sekalian basah kuyup. Kami berlarian dan saling menyipratkan air hujan. Menurutku itu sangat menyenangkan. Apalagi tadi kami habis menghadapi ulangan. Hal ini seakan bisa menghilangkan rasa gugup setelah menghadapi ulangan.
Ila terlihat sangat senang. Walaupun sepanjang jalan banyak orang sekitar yang menanyakan mengapa kok memilih hujan-hujan, padahal aku membawa payung. Namun aku dan Ila hanya tersenyum saja.
Sampai rumah aku basah kuyup. Ibuku pun langsung panik. Padahal aku suka hujan-hujan.
Aku memandang kearah gerimis. Aku merindukan saat itu. Walaupun sampai sekarang kebiasaan seperti itu masih sering aku lakukan. Namun, aku hanya sedang merindukannya.
*********
Failla, atau biasa kupanggil Ila, adalah sahabatku semasa SD. Ia anak keturunan Betawi-Jawa. Walaupun ia dulu juga pindah dari Jakarta kesini, namun ia cepat menyesuaikan diri dan menjadi pintar berbahasa Jawa. Disini, ia tidak terlalu menonjol dalam bergaul. Namun aku akrab dengannya dan bahkan menjadi sahabat dekat. Ia juga tidak terlalu menonjol dalam pelajaran di sekolah, namun sebenarnya pemikirannya sudah dewasa walaupun ia masih sekolah dasar. Itulah hal yang membuatku kagum darinya. Selain itu, ia juga sangat baik kepadaku.
Ila berpostur tinggi, mungkin sedikit lebih tinggi dariku. Ia suka menguncir satu rambutnya yang bergelombang. Selain itu, anak yang berkulit hitam manis ini suka sekali menggambar. Terlihat bahwa tembok di kamarnya penuh dengan coretannya. Namun aku merasa nyaman apabila berada disana. Kebetulan rumah kami berdekatan dan hanya berjarak beberapa meter. Jadi aku sering main ke rumahnya.
Pernah suatu ketika aku sedang enak-enak bermain dirumahnya, tepatnya dikamarnya. Diluar sedang hujan deras dan aku tidak bisa pulang. Jadi aku berada di rumah itu beberapa lama.
Aku asyik bermain di dalam sana, dan saling melempar guling dan bantal. Derasnya air hujan tidak mengalahkan ramainya suasana saat itu. Aku masih mengingatnya. Kami saling adu lempar dan berteriak apabila terkena peluru yang berkapuk itu, setelah itu kami tertawa bersama. Yah, itu hanyalah permainan anak SD, namun dulu itu sangat menyenangkan buatku.
Setelah capek bermain perang-perangan, kami pun sibuk membaca buku cerita. Begitu tenang sampai aku merasa sangat mengantuk. Diluar masih saja hujan, belum reda juga. Aku pun sampai tertidur di dalam kamar itu.
Tok ! Tok !
“Din, kamu ndang makan?”, terdengar suara ibuku diluar kamar sedang mengetuk pintu kamarku.
“Iya bu, sebentar. Nanti saja”, aku menyahut.
Aku tidak beranjak pergi, aku masih membuka album fotoku. Terlihat foto yang menarik perhatianku. Aku saat pertama kali belajar bersepeda. Sepeda berwarna biru yang ada dibelakangku itu sekarang sudah tidak kumiliki. Aku tersenyum. Aku terus memandangi fotoku dengan versi anak SD berambut pendek yang tersenyum menghadap kamera dan memegang sepeda kecil yang terletak di belakangku. Foto itu diambil di jalan di samping rumah.
*********
“Aku sudah bisa naik sepeda! Hore!!”, kataku berteriak-teriak sambil loncat-loncat mengelilingi rumah. Aku sangat gembira. Ibuku hanya tersenyum. Besok aku ingin bersepeda bersama teman-temanku.
“Dini, kesini”, Ila melambaikan tangannya kearahku. Aku tersenyum dan mengayuh sepedaku untuk menghampirinya. Ia sudah siap dengan sepeda berwarna merah mudanya itu.
Untuk beberapa waktu, kami hanya bersepeda di sekitar rumah dengan beberapa teman yang lain.
“Mau ikut aku?”, Ila tersenyum dan bertanya kepadaku.
“Kemana?”, tanyaku polos.
“Sudahlah, ikut saja”, ia mengedipkan sebelah matanya kearahku.
Aku pun menurut. Ia mengajakku ke sebuah jalan yang menanjak, aku tidak berani.
“Il, aku baru bisa bersepeda”, kataku hampir putus asa karena tidak kuat mengayuh sepeda di jalan yang menanjak. Ila yang berada di depanku berhenti dan tersenyum.
“Ayolah, kamu pasti bisa. Kamu bisa kok”, Ila memberi semangat.
Aku mencoba, awalnya memang sulit, namun lama-kelamaan terasa ringan. Aku sudah hampir sampai ke puncak. Ila tersenyum menyambutku dan memberi selamat bahwa aku sudah berhasil melewati jalan itu.
Ila mengajakku ke sebuah bukit ternyata. Aku baru sadar, bahwa pemandangan disini sangat luar biasa indahnya. Aku bisa melihat matahari sore yang hampir terbenam. Dan angin yang berhembus pelan menggoyangkan rumput tinggi yang ada di sekelilingku. Aku menikmatinya sambil menuntun sepedaku di sekitar bukit itu. Ila pun berjalan disampingku. Kami berjalan beriringan.
Aku sadar kalau aku tidak boleh takut untuk melangkah. Aku harus berani, karena diatas sana, aku akan menemukan indahnya hasil perjuangan yang aku lakukan untuk mencapai ke atas puncak.
*********
Aku kembali membalik halaman album foto itu. Disitu terdapat foto boneka Barbie milik Ila sedang duduk di atas meja. Aku ingat bahwa Failla senang sekali mengoleksi boneka Barbie. Ia mempunyai beberapa jenis di rumahnya. Namun aku tidak begitu tertarik dengan boneka seperti itu. Aku tersenyum mengingatnya.
Aku membalik kembali halaman album foto itu. Ada fotoku bersama Ila saat akan berangkat sekolah. Kami saling merangkul bahu masing-masing dan tersenyum melihat kamera. Foto itu diambil di halaman depan rumah. Dulu, dihalaman itu tertanam pohon rambutan yang sudah tumbuh besar. Aku ingat dulu aku senang sekali memanjat foto itu bersama dengan Ila.
“Ayo panjat, din. Buahnya sudah merah-merah”, Failla alias Ila berteriak di bawah saat aku sudah berada di atas pohon.
Aku mencoba meraih batang selanjutnya untuk mendapatkan buah rambutan yang berada di pucuk pohon. Tinggal 3 batang pohon lagi yang harus aku panjat untuk sampai ke atas. Aku mencoba untuk naik ke atas. Namun saat akan mencapai batang kedua, kakiku terpeleset karena batang pohon itu licin. Aku terjatuh. Namun untung aku sempat berpegangan pada batang pohon lain. Hanya bagian siku dan lututku saja yang terluka dan berdarah. Tapi tentu saja rasanya masih perih dan sakit. Aku hampir menangis.
“Din, kamu tidak apa-apa?”, Ila datang dan membantuku berdiri.
“Sakit..”, kataku dengan nada cengeng.
“Sudah, din, tidak apa-apa. Tidak usah menangis. Ayo kita bersihkan dan obati lukamu. Nanti aku saja yang memetik buah-buah itu”.
Ila mengajakku ke dalam rumah dan mengobati lukaku. Sambil meringis aku menahan rasa sakit saat lututku diobati dan dibalut dengan plester. Namun setelah itu, aku tidak terlalu merasakan sakit lagi.
Ila pun kembali memanjat pohon dan memetik beberapa buah. Aku bagian di bawah pohon menangkap buah-buah yang dilempar Ila. Ada beberapa buah yang berhasil kami petik. Setelah itu, kami makan bersama di bawah pohon rambutan itu.
Aku kembali tersenyum mengingat kejadian itu. Sayang sekali, pohon rambutan depan rumah itu sekarang sudah ditebang. Aku jadi merindukan Ila, dia anak yang sangat baik.
Apakah mungkin aku bisa bertemu dengannya lagi? Aku rasa tidak mungkin, tanyaku dalam hati.
*********
Gerimis diluar sudah sedikit reda. Entah mengapa aku ingin jalan-jalan sebentar untuk menikmati udara pasca gerimis. Aku pun menutup album foto itu dan keluar kamar.
“Bu, aku keluar sebentar. Ingin jalan-jalan”, kataku kepada ibu yang berada di dapur.
“Kemana? Jangan lama-lama, kamu belum makan lho din”, suara ibuku terdengar dibalik dapur.
“Iya, bu”.
Aku keluar rumah dan berjalan berkeliling. Aku melalui jalan sendirian, dan sampailah pada rumah yang menjadi tujuanku. Rumah itu kosong, ada beberapa bagiannya yang lapuk. Rumah itu terlihat menakutkan dalam keadaan seperti ini. Namun, apabila di rumah itu sedang ada banyak orang, rumah itu terlihat sangat nyaman.
Aku berjalan mengelilingi kebun rumah itu. Masih ada beberapa pohon buah di rumah itu. Rumah itu memang banyak dikelilingi oleh pohon. Sangat hijau dan sejuk. Di depan rumah itu terdapat pohon kelengkeng.
Rumah itu merupakan rumah kakek buyutku. Dulu beliau tinggal di rumah itu. Namun, sejak beliau meninggal, rumah itu kosong. Sempat ada beberapa orang yang menyewa rumah itu, namun sekarang sudah tidak lagi. Apabila aku sedang merasa bosan di rumah, aku datang kesini untuk bermain. Biasanya bersama nenek dan kakekku. Termasuk juga aku pernah datang kesini bersama dengan teman lamaku. Siapa lagi kalau bukan Ila.
Dulu, aku sering berlari-larian bersama dengan Ila di tempat ini. Entah kenapa kami sering berlari-larian. Terkadang juga kami bermain petak umpet. Pernah suatu ketika, saat aku dan Ila berlari-larian, kaki Ila tersandung dan ia terjatuh. Lututnya terkena batu lancip hingga berdarah. Aku miris melihatnya, namun Ila tidak menangis. Malah ia berkata baik-baik saja dan menenangkanku. Ia berlari ke belakang rumah ini untuk mengambil tanaman obat untuk mengobati lukanya, walaupun dengan sedikit terpincang-pincang. Setelah itu, ia siap bermain kembali. Aku menjadi malu saat aku hampir menangis gara-gara terjatuh dari pohon kemarin, padahal lukaku tidak separah luka Ila saat itu.
*********
Menjelang kelulusan saat Sekolah Dasar, aku dan teman-teman di sekolahku mengadakan acara semacam acara perpisahan. Aku dan 5 orang temanku, dipilih untuk mengadakan pertunjukan musik, ala anak SD. Saat itu, aku dipilih untuk memainkan gitar. Aku lumayan bisa walau tidak sepandai gitaris profesional yang biasanya berada di panggung yang megah dan ditonton oleh jutaan penonton. Penonton kali ini hanya orang tua/wali murid dan para guru.
Saat memainkan musik di depan, aku melihat Ila dan teman-teman lainnya ikut menyanyikan lagu yang sedang kami mainkan dari bangku penonton paling belakang. Mereka semua terlihat sangat senang dan sangat berat untuk melepas masa-masa yang kami lalui bersama selama 6 tahun. Aku juga semakin menikmati alunan nada yang aku mainkan bersama grupku.
Saat itu, aku tidak menyangka bahwa aku tidak akan melihatnya lagi. Saat itu, aku merasa sangat bahagia dan sangat menikmatinya. Dan tidak memikirkan kemungkinan apapun.
*********
Beberapa waktu kemudian, Ila berpamitan akan pindah rumah saat aku dan teman-teman sedang berkumpul. Ia berkata bahwa orang tuanya akan membuka usaha lain di Jakarta, oleh karena itu ia akan pindah rumah dan pindah sekolah. Aku ingat saat terakhir kali ia berpamitan kepada kami semua. Saat itu, aku dan teman-teman yang lain memang harus merelakan kepindahan Ila, teman sekaligus sahabat yang sangat baik itu. Ia banyak mengajariku agar tidak menjadi cengeng, dan tidak boleh takut serta putus asa. Ia selalu memberi semangat dan motivasi, hingga akhirnya aku bisa lulus SD dengan nilai yang sangat memuaskan.
Kali ini, aku hanya sedang merindukannya, kataku sendiri dalam hati sambil memandang pintu rumah yang berada di hadapanku.
*********
Aku masih berjalan-jalan disekitar rumah itu. Setelah puas melihat-lihat, aku pun berniat pulang. Namun tidak lupa juga aku memetik buah jambu biji di belakang rumah itu yang kebetulan batangnya tumbuh agak rendah dengan permukaan tanah. Aku memetik satu, mencucinya, dan aku memakannya selama perjalanan pulang.
Untuk pulang kerumah, aku harus melewati sebuah gang yang diapit oleh beberapa rumah. Sambil sedikit menghindari tetesan air sisa gerimis dari genteng rumah yang aku lewati, aku melihat sebuah benda tergeletak di tanah tepat dihadapanku. Aku mengamati benda itu dan terlihat tidak asing. Benda itu menyerupai wanita yang mempunyai rambut panjang, namun dengan ukuran kecil. Boneka.
Aku menggigit jambu biji yang sedang berada di genggamanku, kemudian aku berjongkok dan memungut boneka itu. Anehnya, boneka itu terlihat familiar buatku. Aku terus mengamati boneka itu, dan melihat sebuah huruf di telapak kaki boneka itu. Tertulis huruf ‘I’. Jantungku berdegap tidak karuan. Tentu saja aku tahu siapa pemilik boneka ini.
Aku memutuskan untuk berdiri, dan aku kaget setengah mati saat ada seorang anak perempuan yang berdiri di hadapanku. Sekitar tiga meter di depanku. Rambut gelombang anak itu dikuncir satu dengan postur lebih tinggi dariku. Ia tersenyum saat melihatku. Lalu ia tertawa.
Aku ketakutan setengah mati. Namun kemudian, terdengar suara yang samar-samar.
“Aku mencarinya”, anak itu seakan-akan berkata dan menunjuk ke arah boneka yang aku genggam. Buah jambu biji yang sedang aku makan ternyata sudah hilang dari genggamanku. Entah kemana, mungkin jatuh. Namun yang pasti, saat ini aku tidak memikirkan tentang jatuhnya buah jambu bijiku. Mataku terpaku kepada sosok yang ada di hadapanku ini.
Sosok itu mendekat, semakin mendekat, lalu mengulurkan tangannya. Entah tanpa aku komando, tanganku bergerak dan memberikan boneka itu kepadanya. Ia menerimanya dan memeluknya. Kemudian ia menatapku dengan tatapan yang sangat aku kenal. Degup jantungku pun perlahan-lahan normal kembali. Entah kenapa, aku menjadi tenang dan nyaman.
Lalu aku mendengar suara seakan-akan ia yang berkata.
“Aku juga merindukanmu”. Sosok itu kembali tersenyum. Aku pun ikut tersenyum. Saat itu, aku tidak menyangka bisa melihatnya lagi. Setelah itu, ia perlahan-lahan menghilang. Hingga akhirnya hanya jalanan yang ada dihadapanku saja yang nampak dimataku. Aku kaget. Dan memutuskan untuk duduk sebentar diatas batu disamping jalan.
Semoga kamu tenang disana, doaku selalu untukmu kawan, kataku dalam hati sambil menenangkan diri.
*********
Well , menurut kalian gimana ?? bagus gag ? :D
yang jawab bagus aku kasih hadiah piring cantik deh .. dada .. ^^
*kabur
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar